Beranda

Jumat, 21 Oktober 2016

ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif islam



Mata Kuliah: Imu Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Maksum M.A
Pendidikan Agama Islam (PAI) B/5


Disusun oleh:
Kelompok 3
1.      Galuh Hendana Ahadan
2.      Nuqthotul Haibah
3.      Dita Paramita

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
IAIN SYEKH NURJATI
2016


BAB I
PENDAHULUAN

   A.    Latar Belakang Masalah
Salah satu gagasan yang paling canggih, komprehensif, dan mendalam yang dapat ditemukan     di dalam Al-Quran adalah konsep ilmu pengetahuan. Sesungguhnya tingkat kepentingannya hanya    berada dibawah konsep tauhid, yang merupakan tema sentral dan mendasar dari Al-Quran.        Pentingnya konsep ini terungkap dalam kenyataan bahwa Al-Quran menyebutakan kata “ilmu” dan    kata turunannya tidak kurang dari 744 kali.
Konsep ilmu membedakan pandangan dunia Islam dari cara pandangan dan ideologi lainnya. Ilmu berfungsi sebagai tonggak kebudayaan dan peradaban muslim dalam sejarah peradaban muslim, konsep ilmu secara mendalam meresap ke dalam seluruh lapisan masyarakat dan mengungkap dirinya dalam sebuah upaya intelektual.
   B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi ilmu pengetahuan?
2.      Bagaimana kedudukan ilmu pengetahuan?
3.      Apa sumber ilmu pengetahuan?
4.      Bagaimana metode pencarian ilmu pengetahuan?
5.      Bagaimana langkah-langkah islamisasi ilmu pengetahuan?
6.      Bagaimana pemanfaatan atau tujuan islamisasi ilmu pengetahuan? 
   C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui definisi ilmu pengetahuan;
2.      Untuk mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan;
3.      Untuk mengetahui sumber ilmu pengetahuan;
4.      Untuk mengetahui metode pencarian ilmuan pengetahuan;
5.      Untuk mengetahui langkah-langkah islamisasi ilmu pengetahuan;
6.      Untuk mengetahui pemanfaatan atau tujuan islamisasi ilmu pengetahuan



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Ilmu Pengetahuan.
Sebelum menyebarkan gagasannya, Al-Attas terlebih dahuulu mendefinsikan apa itu ilmu pengetahuan. Baginya hal ini penting, karena mendefinisikan ilmu pengetahuan bukan perkara mudah.Salah satu problem umat Islam saat ini diantaranya ketidakmampuan  mendefinisikan sebuah konsep dengan benar.
Karenanya, kemudian Al-Attas mendefinisikan ilmu sebagai sebuah makna yang datang ke dalam jiwa bersamaan dengan datangnya  jiwa kepada makna dan menghasilkan hasrat serta kehendak diri. Dengan kata lain, hadirnya makna ke dalam jiwa berarti Tuhan sebagai sumber  pengetahuan, sedangkan hadirnya jiwa kepada makna menunjukkan bahwa jiwa sebagai penafsirnya.
Berpijak pada pemahaman ini Al-Attas mendefinisikan ilmu sebagai satu kesatuan antara orang yang mengetahui dengan makna, dan bukan antara yang mengetahui (subyek ilmu) dengan yang diketahui (obyek ilmu). Unsur-unsur makna ini dikonstruksikan oleh jiwa dari obyek-obyek yang ditangkap oleh indera ketika jiwa menerima iluminasi dari Allah Swt, dan berarti unsur-unsur tersebut tidak terdapat dalam obyek-obyek yang ada.
Dalam mendefisikan ilmu, Al-Attas memegang teguh unsur penting  yang menjadi dimensi dari ilmu pengetahuan  yaitu jiwa, makna, serta sifat-sifat  dan kegunaan ilmu pengetahuan.
Dalam unsur tersebut jiwa merupakan dimensi penting sehingga definisi ilmu pengetahuan  harusmemposisikan jiwa manusia sebagai entitas spiritual yang aktif untuk mempersiapkan diri dalam menerima makna yang merupakan bentuk intelijibel.
Sebagai agama yang datang dari Tuhan, Islam tidak hanya memperhatikan dimensi fisik tetapi juga jiwa. Bahkan porsi perhatian terhadap jiwa jauh lebih besar dibanding fisik.Ini karena lewat dimensi jiwa dapat dibedakan antara orang yang baik dan tidak baik.
Menurut Al-Attas, jiwa memiliki dua aspek dalam hubungan penerima dan pemberi efek. Pada saat menerima efek, dia berhubungan dengan apa yang lebih tinggi dari “derajat” dirinya. Jiwa akan berperan sebagai pemberi efek pada saat ia berhubungan dengan sesuatu yang lebih rendah sehingga timbul prinsip etis sebagai petunjuk bagi tubuh untuk menentukan mana yang baik dan buruk. Sedangkan pada saat jiwa berhubungan dengan realitas yang lebih tinggi maka pada saat itulah ia akan menerima ‘pengetahuan’.
Jiwa manusia memiliki kekuatan (quwā) yang termanifestasi melalui hubungannya dengan tubuh.Iamirip sebuah genus yang terbagi menjadi tiga jiwa yang berbeda yaitu: jiwa vegetatif (al-nabātiyyah), jiwa hewani (al-hayawāniyyah), dan jiwa insani (alinsāniyyah) atau jiwa rasional (al-nātiqah). Jiwa vegetatif memiliki fungsi sebagai kekuatan nutrisi, pertumbuhan dan regenerasi atau reproduksi.Kekuatan  khas pada jiwa hewani adalah penggerak (motive) dan perseptif.Sedang jiwa insani atau rasional memiliki dua kekuatan yaitu intelek aktif (praktis) dan intelek kognitif. Intelek aktif yaitu yang mengatur gerak tubuh manusia, mengarahkan tindakan indvidu (dalam kesepakatan dengan fakultas teoritis atau intelek kognitif), bertanggung jawab akan emosi manusia, mengatur obyek fisik dan menghasilkan keterampilan dan seni, serta memunculan premis-premis dan kesimpulan. Sedangkan Intelek kognitif adalah daya jiwa untuk menerima  kekuatan kreatif dari pengetahuan melalui inteleksi dan intuisi jiwa. Kekuatan intelek kognitif ini bersifat spekulatif (nazariyyah).
Sebagaimana jiwa manusia yang memiliki beberapa istilah,  makna(ma’na)  menurut al-Attas juga merujuk kepada beberapa nama.  Pada hakikatnya makna merupakan bentuk intelijibel yang berkaitan dengan  kata, ekspresi, atau simbol yang diterapkan untuk menunjukkan itu. Ketika itu kata, ekspresi, atau simbol menjadi gagasan dalam pikiran (‘aql: nutq) hal itu disebut ‘dipahami’(mahfūm). Sebagai bentuk Intelijibel  yang dibentuk untuk menjawab pertanyaan “apa itu?”  bentuk intelijibel itu disebut ‘esensi’ (māhiyyah). Apabila ia dianggap sebagai sesuatu yang ada di luar pikiran, atau secara obyektif hal itu disebut ‘realitas’ (haqīqah). Sebagai suatu realitas yang membedakan sesuatu dari yang lainnya, maka ia disebut ‘individualitas’ atau ‘eksistensi individu’ (huwiyyah). Secara umum makna (ma’na) diartikan sebagai “the recognition of the place of anything in a system” atau pengenalan terhadap ‘tempat’  dari  segala sesuatu di dalam sebuah sistem. Konsep ‘tempat’ pada definisi makna, mengacu kepada pengenalan terhadap ‘tempat yang tempat’ yang   berkaitan domain ontologis yang mencakup manusia dan dunia empiris, serta domain ontologis yang mencakup aspek relijius pada eksistensi manusia.
Makna harus melibatkan pengakuan terhadap tempat segala sesuatu di dalam sistem sehingga ilmu pengetahuan sejati terdiri atas pengakuan terhadap ‘tempat yang tepat’ bagi Allah swt dalam urutan “being” dan eksistensi. Al-Attas menegaskan bahwa “tempat” merujuk kepada letaknya yang wajar dalam sistem, yaitu sistem pemikiran dalam al-Qur’an yang diuraikan secara sistematis melalui tradisi para nabi dan dituturkan oleh agama sebagai suatu pandangan alam (worldview ) sehingga menghantarkan kepada  pengenalan terhadap Tuhan Semesta Alam.
Dari penjelasan ini dapat kita tarik benang merah bahwa ilmu pengetahuan tanpa pengakuan terhadap eksistensi Tuhan, bukan merupakan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya.
Salah satu aspek dari ilmu pengetahuan yang dibahas secara substansial oleh al-Attas yaitu sifat dan kegunaan ilmu pengetahuan yang berbeda dengan kegunaan dan sifat ilmu dalam pandangan hidup Barat (Western Worldview)  terutama  dalam memandang realitas dan hakikat kebenaran. Pandangan  alam Barat tersebut telah menyebabkan   pengaburan  antara  yang  haq dan yang batil,  ‘yang sebenarnya’ dengan  ‘yang palsu’, karena ilmu telah terlepas dari Iman atau Tuhan dan hal-hal yang bersifat metafisik akibat Sekularisasi. Padahal dalam pandangan alam Islami,  Iman mengandung unsur ilmu yang memahamkan tentang kebenaran pada akal manusia.
Sifat dan kegunaan Ilmu pengetahuan menurut al-Attas diantaranya; Ilmu pengetahuan yang sejati mungkin untuk dicapai manusia karena ciri atau sifat Ilmu pengetahuan dalam Islam memiliki ketegasan langsung pada manusia dan tidak bisa menunda keputusan  terhadap kebenaran pengetahuan tersebut di masa mendatang. Ilmu yang benar  dapat meyakinkan dan memahamkan secara nyata dan merupakan  sifat yang akan menghapuskan kejahilan, keraguan dan dugaan.  Ilmu Pengetahuan sejati merupakan pengetahuan yang mengenali batas kebenaran dalam setiap obyeknya melalui kebijaksanaan. Kebijaksanaan tersebut pada gilirannya akan menghantarkan manusia menjadi seseorang yang beradab.  Ilmu pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui hidayah Allah swt dan bukan diawali oleh keraguan sebagaimana epistemologi Barat. Ilmu pengetahuan menurut al-Attas bersifat tidak netral atau tidak bebas nilai karena ia dipengaruhi oleh nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia sebagai subyek ilmu. [1]
   B.     Kedudukan Ilmu Pengetahuan
Kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam sangat sentral. Vitalitas dan keutamaan ilmu terungkap dalam penghormatan yang diberikan kepada para ilmuan serta tersirat dalam wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW berupa kunci ilmu, yakni membaca. Tercermin dalam ajakan untuk mengikuti hanya kepada orang yang berakal. Tersurat dalam peringatan bahwa ketiadaan ilmu akan penyesatkan serta dengan tegas dinyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib dan berlaku selama manusia masih hidup.
Kedudukan ilmu pengetahuan dalam perspektif islam :
a.    Manusia diangkat sebagai khalifatullah (penguasa) dan dibedakan dari makhluk yang lain karena ilmunya.
b.    Hakikat manusia tidak terpisah dari kemampuannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
c.    Al-Quran diturunkan dengan ilmu pengetahuan.
d.   Al-Quran memberikan isyarat bahwa yang berhak memimpin umat ialah yang memiliki pengetahuan
e.    Allah melarang manusia mengikuti suatu perbuatan tanpa memiliki ilmu mengenainya.
   C.     Sumber Ilmu Pengetahuan
Louis O. Kattsof mengatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan manusia ada lima, yaitu: empiris, rasio, fenomena, intuisi dan metode ilmiah. Sedangkan jika dikembalikan kepada Al-Quran, ada empat sumber yang ditunjukan Alquran untuk memperoleh pengetahuan bagi manusia, antara lain:
1.      Al-Quran dan As-Sunnah
2.      Alam Semesta
3.      Manusia
4.      Sejarah umat manusia.
   D.    Metode Pencarian Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan dimulai dari pengetahuan atau pengetahuan setelah melalui berbagai proses seperti perhatian, penalaran dan penelitian.[2] Kebanyakan manusia memperoleh ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui indera yang dimilikinya.[3]
Untuk memperoleh pengetahuan manusia bias menempuh melalui dua cara, yaitu:
1.      Jalur Ilahiyah (Revealed Knowledge)
2.      Jalur Insaniyah (Acquired Knowledge).[4]
   E.     Langkah-langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Dalam pandangan al-Attas, sebelum islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah islamisasi bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau pikiran. Islamisasi bahasa Arab yang termuati ilham ketuhanan dalam bentuk wahyu telah mengubah kedudukan bahasa Arab, di antara bahasa-bahasa manusia, menjadi satu-satunya bahasa yang hidup yang diilhami Tuhan, dan dalam pengertian ini menjadi baru dan tersempurnakan sampai tingkat perbandingan tertinggi terutama kosa kata dasar Islam, tidak tergantung pada perubahan dan perkembangan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan sosial seperti halnya semua bahasa lainnya yang berasal dari kebudayaan dan tradisi.
Terangkatnya bahasa Arab sebagai bahasa di mana Tuhan mewahyukan kitab suci al-Qur’an kepada manusia menjadikan bahasa itu terpelihara tanpa perubahan, tetap hidup dan tetap kekal sebagai bahasa Arab standar yang luhur. Oleh karena itu, arti istilah-istilah yang bertalian dengan Islam, tidak ada perubahan sosial, sehingga untuk segala zaman dan setiap generasi pengetahuan lengkap tentang Islam menjadi mungkin, karena pengetahuan tersebut termasuk norma-normanya merupakan suatu hal yang telah terbangun mapan, dan bukan termasuk sesuatu yang berkembang seperti halnya dengan manusia dan sejarah yang dikatakan berkembang.
Lebih lanjut menurut al-Attas, istilah-istilah Islam merupakan pemersatu bangsa-bangsa muslim, bukan hanya karena kesamaan agama semata, melainkan karena istilah-istilah itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun secara memuaskan. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka istilah-istilah itu menjadi kehilangan makna ruhaniyah-nya. Karena itu, istilah Islam tidak dapat diterjemahkan dan dipahami dengan pengertian lain, meski istilah tersebut di pakai dan ditunjukkan pada nabi-nabi sebelum Muhammad saw. Adapun makna Q.S. al-Maidah ayat 3 yang menyebutkan “hari penyempurnaan agama Islam”, di pahami al-Attas sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat itu Islam telah merupakan sebuah tatanan agama yang total dan tertutup sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya perubahan.
Sedangkan dalam prosesnya, islamisasi yang dicanangkan oleh al-Attas mempunyai beberapa langkah yaitu:
1.      Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat. Unsur-unsur tersebut terdiri dari:
a.       Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
b.      Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran.
c.       Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler.
d.      Membela doktrin humanism.
e.       Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Unsur-unsur tersebut harus dihilangkan dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika, dan aplikasi harus diislamkan juga. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern, beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, rasionalitas proses-proses ilmiah, teori tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.
2.      Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan. Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Konsep utama Islam tersebut yaitu:
a.       Konsep Agama (ad-din)
b.      Konsep Manusia (al-insan)
c.       Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah)
d.      Konsep kearifan (al-hikmah)
e.       Konsep keadilan (al-‘adl)
f.       Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
g.      Konsep universitas (kulliyyah jami’ah).
F.      Pemanfaatan atau Tujuan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Tujuan Islamisasi ilmu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang boleh membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan menambahkan lagi keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman.
Adapun yang menjadi obyek Islamisasi bukan obyek yang berada diluar pikiran tapi adalah yang terdapat dalam jiwa atau pikiran seseorang. Dan pendekatannya adalah pendekatan dalam Islam yang berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu (revelation tradition), akal (reason), pengalaman (experience) dan intuisi (intuition). Karena Islam pada dasarnya mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber kebenaran tentang sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian kebenaran dalam Islam memiliki beberapa kesamaan dengan pandangan filsafat Yunani, namun secara mendasar dibedakan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview).
Jadi menurut al-Attas, dalam prosesnya, islamisasi ilmu melibatkan dua langkah utama yang saling berhubungan: pertama, proses mengeluarkan unsur-unsur dan konsep-konsep penting Barat dari suatu ilmu, dan kedua, memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam ke dalamnya.[5]



BAB III
PENUTUP
    A.    Kesimpulan
1.      Definisi Ilmu Pengetahuan.
Al-Attas mendefinisikan ilmu sebagai sebuah makna yang datang ke dalam jiwa bersamaan dengan datangnya  jiwa kepada makna dan menghasilkan hasrat serta kehendak diri. Dengan kata lain, hadirnya makna ke dalam jiwa berarti Tuhan sebagai sumber  pengetahuan, sedangkan hadirnya jiwa kepada makna menunjukkan bahwa jiwa sebagai penafsirnya.
2.      Kedudukan Ilmu Pengetahuan.
a.       Manusia diangkat sebagai khalifatullah (penguasa) dan dibedakan dari makhluk yang lain karena ilmunya.
b.      Hakikat manusia tidak terpisah dari kemampuannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
c.       Al-Quran diturunkan dengan ilmu pengetahuan.
d.      Al-Quran memberikan isyarat bahwa yang berhak memimpin umat ialah yang memiliki pengetahuan
e.       Allah melarang manusia mengikuti suatu perbuatan tanpa memiliki ilmu mengenainya.
3.      Sumber Ilmu Pengetahuan
a.       Al-Quran dan As-Sunnah
b.      Alam Semesta
c.       Manusia
d.      Sejarah umat manusia.
4.      Metode Pencarian Ilmu Pengetahuan.
a.       Jalur Ilahiyah (Revealed Knowledge)
b.      Jalur Insaniyah (Acquired Knowledge)
5.      Langkah-langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan
a.       Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat. Unsur-unsur tersebut terdiri dari:
1)      Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
2)      Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran.
3)      Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler.
4)      Membela doktrin humanism.
5)      Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
b.      Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan. Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Konsep utama Islam tersebut yaitu:
1)      Konsep Agama (ad-din)
2)      Konsep Manusia (al-insan)
3)      Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah)
4)      Konsep kearifan (al-hikmah)
5)      Konsep keadilan (al-‘adl)
6)      Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
7)      Konsep universitas (kulliyyah jami’ah).
6.      Pemanfaatan atau Tujuan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Tujuan Islamisasi ilmu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang boleh membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan menambahkan lagi keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman.
      B.     Saran
Diharapkan mahasiswa dapat mengaplikasikan ilmu dan mengembangkan ilmu yang telah diketahui terkait tentang: definisi ilmu pengetahuan, kedudukan ilmu pengetahuan, sumber ilmu pengetahuan, metode pencarian ilmu pengetahuan, langkah-langkah islamisasi ilmu pengetahuan, pemanfaatan atau tujuan islamisasi ilmu pengetahuan.




DAFTAR PUSTAKA
Alim, Muhammad Drs., M. Ag, PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011, hal. 212
http://knowledgeisfreee.blogspot.co.id/2015/11/makalah-pengertian-islamisasi-ilmu.html




[1] http://inpasonline.com/new/islamisasi-ilmu-pengetahuan-menurut-syed-m-naquib-al-attas/
[2] Alim, Muhammad Drs., M. Ag, PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011, hal. 212
[3] Ibid, hal. 212
[4] Ibid, hal. 213
[5] http://knowledgeisfreee.blogspot.co.id/2015/11/makalah-pengertian-islamisasi-ilmu.html