Mata
Kuliah: Imu Pendidikan Islam
Dosen
Pengampu: Prof. Dr. H. Maksum M.A
Pendidikan
Agama Islam (PAI) B/5
Disusun
oleh:
Kelompok 3
1. Galuh Hendana Ahadan
2. Nuqthotul Haibah
3. Dita Paramita
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
IAIN
SYEKH NURJATI
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Salah satu gagasan yang paling canggih, komprehensif,
dan mendalam yang dapat ditemukan di dalam Al-Quran adalah konsep ilmu
pengetahuan. Sesungguhnya tingkat kepentingannya hanya berada dibawah konsep
tauhid, yang merupakan tema sentral dan mendasar dari Al-Quran. Pentingnya
konsep ini terungkap dalam kenyataan bahwa Al-Quran menyebutakan kata “ilmu”
dan kata turunannya tidak kurang dari 744 kali.
Konsep ilmu membedakan pandangan dunia Islam dari cara
pandangan dan ideologi lainnya. Ilmu berfungsi sebagai tonggak kebudayaan dan
peradaban muslim dalam sejarah peradaban muslim, konsep ilmu secara mendalam
meresap ke dalam seluruh lapisan masyarakat dan mengungkap dirinya dalam sebuah
upaya intelektual.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
definisi ilmu pengetahuan?
2.
Bagaimana
kedudukan ilmu pengetahuan?
3.
Apa
sumber ilmu pengetahuan?
4.
Bagaimana
metode pencarian ilmu pengetahuan?
5.
Bagaimana
langkah-langkah islamisasi
ilmu pengetahuan?
6.
Bagaimana pemanfaatan atau tujuan
islamisasi ilmu pengetahuan?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui definisi ilmu pengetahuan;
2.
Untuk
mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan;
3.
Untuk
mengetahui sumber ilmu pengetahuan;
4.
Untuk
mengetahui metode pencarian ilmuan pengetahuan;
5.
Untuk
mengetahui langkah-langkah islamisasi ilmu pengetahuan;
6.
Untuk mengetahui pemanfaatan atau
tujuan islamisasi ilmu pengetahuan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Ilmu Pengetahuan.
Sebelum menyebarkan gagasannya, Al-Attas terlebih dahuulu
mendefinsikan apa itu ilmu pengetahuan. Baginya hal ini penting, karena
mendefinisikan ilmu pengetahuan bukan perkara mudah.Salah satu problem umat
Islam saat ini diantaranya ketidakmampuan mendefinisikan sebuah konsep
dengan benar.
Karenanya, kemudian Al-Attas mendefinisikan ilmu sebagai sebuah
makna yang datang ke dalam jiwa bersamaan dengan datangnya jiwa kepada
makna dan menghasilkan hasrat serta kehendak diri. Dengan kata lain, hadirnya
makna ke dalam jiwa berarti Tuhan sebagai sumber pengetahuan, sedangkan
hadirnya jiwa kepada makna menunjukkan bahwa jiwa sebagai penafsirnya.
Berpijak pada pemahaman ini Al-Attas mendefinisikan ilmu sebagai
satu kesatuan antara orang yang mengetahui dengan makna, dan bukan antara yang
mengetahui (subyek ilmu) dengan yang diketahui (obyek ilmu). Unsur-unsur makna
ini dikonstruksikan oleh jiwa dari obyek-obyek yang ditangkap oleh indera
ketika jiwa menerima iluminasi dari Allah Swt, dan berarti unsur-unsur tersebut
tidak terdapat dalam obyek-obyek yang ada.
Dalam mendefisikan ilmu, Al-Attas memegang teguh unsur penting
yang menjadi dimensi dari ilmu pengetahuan yaitu jiwa, makna, serta
sifat-sifat dan kegunaan ilmu pengetahuan.
Dalam unsur tersebut jiwa merupakan dimensi penting sehingga
definisi ilmu pengetahuan harusmemposisikan jiwa manusia sebagai entitas
spiritual yang aktif untuk mempersiapkan diri dalam menerima makna yang
merupakan bentuk intelijibel.
Sebagai agama yang datang dari Tuhan, Islam tidak hanya memperhatikan
dimensi fisik tetapi juga jiwa. Bahkan porsi perhatian terhadap jiwa jauh lebih
besar dibanding fisik.Ini karena lewat dimensi jiwa dapat dibedakan antara
orang yang baik dan tidak baik.
Menurut Al-Attas, jiwa memiliki dua aspek dalam hubungan penerima
dan pemberi efek. Pada saat menerima efek, dia berhubungan dengan apa yang
lebih tinggi dari “derajat” dirinya. Jiwa akan berperan sebagai pemberi efek
pada saat ia berhubungan dengan sesuatu yang lebih rendah sehingga timbul
prinsip etis sebagai petunjuk bagi tubuh untuk menentukan mana yang baik dan
buruk. Sedangkan pada saat jiwa berhubungan dengan realitas yang lebih tinggi
maka pada saat itulah ia akan menerima ‘pengetahuan’.
Jiwa manusia memiliki kekuatan (quwā) yang termanifestasi melalui
hubungannya dengan tubuh.Iamirip sebuah genus yang terbagi menjadi tiga jiwa
yang berbeda yaitu: jiwa vegetatif (al-nabātiyyah), jiwa hewani
(al-hayawāniyyah), dan jiwa insani (alinsāniyyah) atau jiwa rasional
(al-nātiqah). Jiwa vegetatif memiliki fungsi sebagai kekuatan nutrisi,
pertumbuhan dan regenerasi atau reproduksi.Kekuatan khas pada jiwa hewani
adalah penggerak (motive) dan perseptif.Sedang jiwa insani atau rasional
memiliki dua kekuatan yaitu intelek aktif (praktis) dan intelek kognitif. Intelek
aktif yaitu yang mengatur gerak tubuh manusia, mengarahkan tindakan indvidu
(dalam kesepakatan dengan fakultas teoritis atau intelek kognitif), bertanggung
jawab akan emosi manusia, mengatur obyek fisik dan menghasilkan keterampilan
dan seni, serta memunculan premis-premis dan kesimpulan. Sedangkan Intelek
kognitif adalah daya jiwa untuk menerima kekuatan kreatif dari
pengetahuan melalui inteleksi dan intuisi jiwa. Kekuatan intelek kognitif ini
bersifat spekulatif (nazariyyah).
Sebagaimana jiwa manusia yang memiliki beberapa istilah,
makna(ma’na) menurut al-Attas juga merujuk kepada beberapa nama.
Pada hakikatnya makna merupakan bentuk intelijibel yang berkaitan dengan
kata, ekspresi, atau simbol yang diterapkan untuk menunjukkan itu. Ketika itu
kata, ekspresi, atau simbol menjadi gagasan dalam pikiran (‘aql: nutq) hal itu
disebut ‘dipahami’(mahfūm). Sebagai bentuk Intelijibel yang dibentuk
untuk menjawab pertanyaan “apa itu?” bentuk intelijibel itu disebut
‘esensi’ (māhiyyah). Apabila ia dianggap sebagai sesuatu yang ada di luar
pikiran, atau secara obyektif hal itu disebut ‘realitas’ (haqīqah). Sebagai
suatu realitas yang membedakan sesuatu dari yang lainnya, maka ia disebut
‘individualitas’ atau ‘eksistensi individu’ (huwiyyah). Secara umum makna (ma’na)
diartikan sebagai “the recognition of the place of anything in a system” atau
pengenalan terhadap ‘tempat’ dari segala sesuatu di dalam sebuah
sistem. Konsep ‘tempat’ pada definisi makna, mengacu kepada pengenalan terhadap
‘tempat yang tempat’ yang berkaitan domain ontologis yang mencakup
manusia dan dunia empiris, serta domain ontologis yang mencakup aspek relijius
pada eksistensi manusia.
Makna harus melibatkan pengakuan terhadap tempat segala sesuatu di
dalam sistem sehingga ilmu pengetahuan sejati terdiri atas pengakuan terhadap
‘tempat yang tepat’ bagi Allah swt dalam urutan “being” dan eksistensi.
Al-Attas menegaskan bahwa “tempat” merujuk kepada letaknya yang wajar dalam
sistem, yaitu sistem pemikiran dalam al-Qur’an yang diuraikan secara sistematis
melalui tradisi para nabi dan dituturkan oleh agama sebagai suatu pandangan
alam (worldview ) sehingga menghantarkan kepada pengenalan terhadap Tuhan
Semesta Alam.
Dari penjelasan ini dapat kita tarik benang merah bahwa ilmu
pengetahuan tanpa pengakuan terhadap eksistensi Tuhan, bukan merupakan ilmu
pengetahuan yang sesungguhnya.
Salah satu aspek dari ilmu pengetahuan yang dibahas secara
substansial oleh al-Attas yaitu sifat dan kegunaan ilmu pengetahuan yang
berbeda dengan kegunaan dan sifat ilmu dalam pandangan hidup Barat (Western
Worldview) terutama dalam memandang realitas dan hakikat kebenaran.
Pandangan alam Barat tersebut telah menyebabkan
pengaburan antara yang haq dan yang batil, ‘yang
sebenarnya’ dengan ‘yang palsu’, karena ilmu telah terlepas dari Iman
atau Tuhan dan hal-hal yang bersifat metafisik akibat Sekularisasi. Padahal
dalam pandangan alam Islami, Iman mengandung unsur ilmu yang memahamkan
tentang kebenaran pada akal manusia.
Sifat dan kegunaan Ilmu pengetahuan menurut al-Attas diantaranya;
Ilmu pengetahuan yang sejati mungkin untuk dicapai manusia karena ciri atau
sifat Ilmu pengetahuan dalam Islam memiliki ketegasan langsung pada manusia dan
tidak bisa menunda keputusan terhadap kebenaran pengetahuan tersebut di
masa mendatang. Ilmu yang benar dapat meyakinkan dan memahamkan secara
nyata dan merupakan sifat yang akan menghapuskan kejahilan, keraguan dan
dugaan. Ilmu Pengetahuan sejati merupakan pengetahuan yang mengenali
batas kebenaran dalam setiap obyeknya melalui kebijaksanaan. Kebijaksanaan
tersebut pada gilirannya akan menghantarkan manusia menjadi seseorang yang
beradab. Ilmu pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui hidayah
Allah swt dan bukan diawali oleh keraguan sebagaimana epistemologi Barat. Ilmu
pengetahuan menurut al-Attas bersifat tidak netral atau tidak bebas nilai
karena ia dipengaruhi oleh nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia sebagai
subyek ilmu. [1]
B.
Kedudukan
Ilmu Pengetahuan
Kedudukan ilmu pengetahuan
dalam Islam sangat sentral. Vitalitas dan keutamaan ilmu terungkap dalam
penghormatan yang diberikan kepada para ilmuan serta tersirat dalam wahyu
pertama yang diterima Rasulullah SAW berupa kunci ilmu, yakni membaca.
Tercermin dalam ajakan untuk mengikuti hanya kepada orang yang berakal.
Tersurat dalam peringatan bahwa ketiadaan ilmu akan penyesatkan serta dengan
tegas dinyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib dan berlaku selama manusia masih
hidup.
Kedudukan ilmu pengetahuan
dalam perspektif islam :
a.
Manusia
diangkat sebagai khalifatullah (penguasa) dan dibedakan dari makhluk yang lain
karena ilmunya.
b.
Hakikat
manusia tidak terpisah dari kemampuannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
c.
Al-Quran
diturunkan dengan ilmu pengetahuan.
d.
Al-Quran
memberikan isyarat bahwa yang berhak memimpin umat ialah yang memiliki
pengetahuan
e.
Allah
melarang manusia mengikuti suatu perbuatan tanpa memiliki ilmu mengenainya.
C.
Sumber
Ilmu Pengetahuan
Louis O. Kattsof mengatakan
bahwa sumber ilmu pengetahuan manusia ada lima, yaitu: empiris, rasio,
fenomena, intuisi dan metode ilmiah. Sedangkan jika dikembalikan kepada
Al-Quran, ada empat sumber yang ditunjukan Alquran untuk memperoleh pengetahuan
bagi manusia, antara lain:
1.
Al-Quran
dan As-Sunnah
2.
Alam
Semesta
3.
Manusia
4.
Sejarah
umat manusia.
D.
Metode
Pencarian Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan dimulai dari pengetahuan atau
pengetahuan setelah melalui berbagai proses seperti perhatian, penalaran dan
penelitian.[2]
Kebanyakan manusia memperoleh ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui indera
yang dimilikinya.[3]
Untuk memperoleh
pengetahuan manusia bias menempuh melalui dua cara, yaitu:
1.
Jalur
Ilahiyah (Revealed Knowledge)
2.
Jalur
Insaniyah (Acquired Knowledge).[4]
E.
Langkah-langkah Islamisasi Ilmu
Pengetahuan
Dalam
pandangan al-Attas, sebelum islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang
harus dilakukan adalah islamisasi bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa ini
ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara
bangsa Arab, bahasa, pikiran dan nalar saling berhubungan erat. Maka,
islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau pikiran. Islamisasi bahasa
Arab yang termuati ilham ketuhanan dalam bentuk wahyu telah mengubah kedudukan
bahasa Arab, di antara bahasa-bahasa manusia, menjadi satu-satunya bahasa yang
hidup yang diilhami Tuhan, dan dalam pengertian ini menjadi baru dan
tersempurnakan sampai tingkat perbandingan tertinggi terutama kosa kata dasar
Islam, tidak tergantung pada perubahan dan perkembangan dan tidak dipengaruhi
oleh perubahan sosial seperti halnya semua bahasa lainnya yang berasal dari
kebudayaan dan tradisi.
Terangkatnya
bahasa Arab sebagai bahasa di mana Tuhan mewahyukan kitab suci al-Qur’an kepada
manusia menjadikan bahasa itu terpelihara tanpa perubahan, tetap hidup dan
tetap kekal sebagai bahasa Arab standar yang luhur. Oleh karena itu, arti
istilah-istilah yang bertalian dengan Islam, tidak ada perubahan sosial,
sehingga untuk segala zaman dan setiap generasi pengetahuan lengkap tentang
Islam menjadi mungkin, karena pengetahuan tersebut termasuk norma-normanya
merupakan suatu hal yang telah terbangun mapan, dan bukan termasuk sesuatu yang
berkembang seperti halnya dengan manusia dan sejarah yang dikatakan berkembang.
Lebih
lanjut menurut al-Attas, istilah-istilah Islam merupakan pemersatu
bangsa-bangsa muslim, bukan hanya karena kesamaan agama semata, melainkan
karena istilah-istilah itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun
secara memuaskan. Ketika diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka istilah-istilah
itu menjadi kehilangan makna ruhaniyah-nya. Karena itu, istilah Islam tidak
dapat diterjemahkan dan dipahami dengan pengertian lain, meski istilah tersebut
di pakai dan ditunjukkan pada nabi-nabi sebelum Muhammad saw. Adapun makna Q.S.
al-Maidah ayat 3 yang menyebutkan “hari penyempurnaan agama Islam”, di pahami
al-Attas sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat itu Islam telah merupakan
sebuah tatanan agama yang total dan tertutup sehingga tidak ada peluang untuk
terjadinya perubahan.
Sedangkan
dalam prosesnya, islamisasi yang dicanangkan oleh al-Attas mempunyai beberapa
langkah yaitu:
1. Mengisolisir unsur-unsur dan
konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat. Unsur-unsur
tersebut terdiri dari:
a.
Akal
diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
b.
Bersikap
dualistik terhadap realitas dan kebenaran.
c.
Menegaskan
aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler.
d.
Membela
doktrin humanism.
e.
Menjadikan
drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi
kemanusiaan.
Unsur-unsur tersebut harus
dihilangkan dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini, khususnya
dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika, dan
aplikasi harus diislamkan juga. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa
dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern,
beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan
etika, penafsiran historitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya
berkaitan dengan dunia, rasionalitas proses-proses ilmiah, teori tersebut
tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, keterkaitannya dengan
ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.
2.
Memasukkan
unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu
pengetahuan saat ini yang relevan. Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam
mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Konsep utama Islam
tersebut yaitu:
a.
Konsep
Agama (ad-din)
b.
Konsep
Manusia (al-insan)
c.
Konsep
Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah)
d.
Konsep
kearifan (al-hikmah)
e.
Konsep
keadilan (al-‘adl)
f.
Konsep
perbuatan yang benar (al-‘amal)
g.
Konsep
universitas (kulliyyah jami’ah).
F.
Pemanfaatan atau Tujuan Islamisasi
Ilmu Pengetahuan
Tujuan Islamisasi ilmu sendiri adalah
untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan
menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang
hakiki yang boleh membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan
menambahkan lagi keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan
keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman.
Adapun
yang menjadi obyek Islamisasi bukan obyek yang berada diluar pikiran tapi
adalah yang terdapat dalam jiwa atau pikiran seseorang. Dan pendekatannya
adalah pendekatan dalam Islam yang berkaitan erat dengan struktur metafisika
dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu (revelation
tradition), akal (reason), pengalaman (experience) dan intuisi (intuition).
Karena Islam pada dasarnya mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan
empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber kebenaran tentang
sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut. Jadi
meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian kebenaran dalam
Islam memiliki beberapa kesamaan dengan pandangan filsafat Yunani, namun secara
mendasar dibedakan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview).
Jadi
menurut al-Attas, dalam prosesnya, islamisasi ilmu melibatkan dua langkah utama
yang saling berhubungan: pertama, proses mengeluarkan unsur-unsur dan
konsep-konsep penting Barat dari suatu ilmu, dan kedua, memasukkan unsur-unsur
dan konsep-konsep utama Islam ke dalamnya.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Definisi Ilmu Pengetahuan.
Al-Attas mendefinisikan ilmu sebagai sebuah makna yang datang ke
dalam jiwa bersamaan dengan datangnya jiwa kepada makna dan menghasilkan
hasrat serta kehendak diri. Dengan kata lain, hadirnya makna ke dalam jiwa
berarti Tuhan sebagai sumber pengetahuan, sedangkan hadirnya jiwa kepada
makna menunjukkan bahwa jiwa sebagai penafsirnya.
2.
Kedudukan
Ilmu Pengetahuan.
a.
Manusia
diangkat sebagai khalifatullah (penguasa) dan dibedakan dari makhluk yang lain
karena ilmunya.
b.
Hakikat
manusia tidak terpisah dari kemampuannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
c.
Al-Quran
diturunkan dengan ilmu pengetahuan.
d.
Al-Quran
memberikan isyarat bahwa yang berhak memimpin umat ialah yang memiliki
pengetahuan
e.
Allah
melarang manusia mengikuti suatu perbuatan tanpa memiliki ilmu mengenainya.
3.
Sumber
Ilmu Pengetahuan
a.
Al-Quran
dan As-Sunnah
b.
Alam
Semesta
c.
Manusia
d.
Sejarah
umat manusia.
4.
Metode
Pencarian Ilmu Pengetahuan.
a.
Jalur
Ilahiyah (Revealed Knowledge)
b.
Jalur
Insaniyah (Acquired Knowledge)
5. Langkah-langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan
a. Mengisolisir unsur-unsur dan
konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat. Unsur-unsur
tersebut terdiri dari:
1) Akal diandalkan untuk membimbing
kehidupan manusia.
2) Bersikap dualistik terhadap realitas
dan kebenaran.
3) Menegaskan aspek eksistensi yang
memproyeksikan pandangan hidup sekuler.
4) Membela doktrin humanism.
5) Menjadikan drama dan tragedi sebagai
unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
b.
Memasukkan
unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu
pengetahuan saat ini yang relevan. Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam
mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Konsep utama Islam
tersebut yaitu:
1)
Konsep
Agama (ad-din)
2)
Konsep
Manusia (al-insan)
3)
Konsep
Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah)
4)
Konsep
kearifan (al-hikmah)
5)
Konsep
keadilan (al-‘adl)
6)
Konsep
perbuatan yang benar (al-‘amal)
7)
Konsep
universitas (kulliyyah jami’ah).
6.
Pemanfaatan atau Tujuan Islamisasi
Ilmu Pengetahuan
Tujuan Islamisasi ilmu sendiri adalah
untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan
menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk mengembangkan ilmu yang
hakiki yang boleh membangunkan pemikiran dan pribadi muslim yang akan
menambahkan lagi keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan
keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman.
B.
Saran
Diharapkan mahasiswa dapat
mengaplikasikan ilmu dan mengembangkan ilmu yang telah diketahui terkait
tentang: definisi ilmu pengetahuan, kedudukan ilmu
pengetahuan, sumber ilmu pengetahuan, metode pencarian ilmu pengetahuan, langkah-langkah islamisasi ilmu pengetahuan,
pemanfaatan atau tujuan islamisasi ilmu pengetahuan.
DAFTAR
PUSTAKA
Alim, Muhammad Drs., M. Ag, PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian
Muslim, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011, hal. 212
http://knowledgeisfreee.blogspot.co.id/2015/11/makalah-pengertian-islamisasi-ilmu.html
[1] http://inpasonline.com/new/islamisasi-ilmu-pengetahuan-menurut-syed-m-naquib-al-attas/
[2] Alim, Muhammad Drs., M. Ag, PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Upaya Pembentukan
Pemikiran dan Kepribadian Muslim, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011, hal.
212
[3] Ibid, hal. 212
[4] Ibid, hal. 213
[5]
http://knowledgeisfreee.blogspot.co.id/2015/11/makalah-pengertian-islamisasi-ilmu.html